Selamat Datang, Selamat Belajar, Semoga Bermanfaat!

Saturday, October 9, 2010

Posted by nivo's blog On 4:10 PM
Namaku Antonius Frans. Di kampus, aku dipanggil Anton. Umurku genap 20 tahun di bulan Agustus ini dan sekarang aku duduk di bangku kuliah. Menurut teman-temanku, aku itu anak yang cukup pintar, bersahabat, cinta lingkungan, dan tidak suka akan keributan.
Tepat tiga tahun yang lalu, saat aku duduk di kelas XII, ketika bel pulang berbunyi, aku buru-buru keluar kelas dan berjalan menuju koridor sekolah dan bergegas pulang. Tanpa kusadari dan tanpa memikirkan yang lain, tak sengaja aku menabrak seorang perempuan yang asing di mataku.
“Aduh..!!” teriak perempuan itu.
“Kenapa, loe?” tanyaku sambil berbalik badan ke arah teriakan itu.
“What’s?” teriak perempuan itu lagi.
“Ya, kenapa loe tadi teriak keras-keras kayak gitu?” tanyaku lagi.
“Masih belum sadar juga loe. Loe tuh sudah buat kaki gue ini luka dan berdarah?” katanya dengan wajah sedikit kesal.
“Trus, apa hubungannya sama gue..? Loe urus aja luka kaki loe tuh sendiri!” seruku.
“Hey, setidaknya loe tuch nolongin gue, kalau perlu loe obatin kaki gue juga. Tidak seperti ini, loe hanya diam terpaku,” jawab perempuan itu dengan nada marah.
“Siapa loe siapa gue. Lagipula ngapain juga gue nolongin loe, buat apa? Toh, loe masih bisa berdiri dan berjalan layaknya orang nggak sakit . Sudah deh, jadi orang tuh jangan manja.!!!” jelasku kepadanya.
“Hah, loe nggak tahu gue ini siapa. Semua orang di sekolah ini sudah tahu siapa itu Rani.” jawab perempuan itu yang tak sengaja mengaku namanya Rani sambil menahan rasa sakitnya itu.
“Ohh, nama loe Rani. Di mata gue, loe itu nggak penting siapa diri loe, orang tua loe siapa dan apalagi nama loe. Ahh, sudahlah. Minggir, gue mau pulang..!!” seruku sambil menepis tangannya.
“Ehh, apa kau bilang? Enak aja loe mau pulang.. Lalu bagaimana dengan lukaku yang semakin parah ini? Apa perlu gue laporin guru BP atau polisi dulu, baru loe mau tanggung jawab?” jerit Rani sambil meringik kesakitan yang terpaut dari wajahnya.
Sambil membereskan kembali buku-bukuku yang terjatuh di lantai, ku tolong dia dengan sedikit rasa canggung dan membuang pandanganku dari pandangannya.
“Sudahkan! gue mau pulang. Gara-gara ngurusin loe, gue nggak bisa pulang cepat dan waktu gue ke buang habis begitu aja.” kataku kepada Rani sambil berjalan menuju pintu gerbang sekolah.
“Ya sudah sana, gue sudah nggak butuh bantuan loe lagi.” jawabnya.
Akupun keluar dari gerbang sekolah dan menuju mobil kesayanganku yang telah menantiku sejak siang tadi. Ku buka pintu mobilku itu, kunyalakan dan ku meluncur bagaikan roket yang melesat di udara dengan menekan pedal gas yang ada di sebelah kanan kakiku.
Selang 30 menit kemudian, aku sampai di depan rumahku. Dengan wajah letih lunglai, aku langsung masuk ke kamar dan mengganti baju seragam dengan baju yang lebih santai. Sekitar pukul 16.00, ketika aku berada di teras samping rumahku, terdengar ada suara seseorang menyapa dari depan rumahku.
“Permisi.. Permisi..” teriak orang itu.
Aku pun bergegas menuju depan rumahku. Dan ternyata, orang itu adalah seorang kakek-kakek tua dengan bermodalkan karung beras dan sebuah baju yang dapat dibilang tidak pantas lagi untuk dipakai yang melekat di tubuhnya.
“Iya, ada apa ya, Kek?” tanyaku dengan ramah.
“Boleh minta berasnya sedikit, Nak?” tanya kakek  itu dengan badan membungkuk.
“Untuk apa, Kek?” tanyaku lagi.
“Untuk makan bersama dengan istri dan cucu-cucu saya.” jawab kakek itu sambil menurunkan karung berasnya itu dari atas pundaknya.
“Bagaimana ya, Kek? Sebentar saya tanyakan kepada bibi saya.” jawabku.
Sejenak aku masuk ke dalam rumah untuk menanyakan kepada bibiku apakah beras di rumahku ini masih mencukupi.
“Bi.. Bibi?” panggilku.
“Iya, Den. Ada apa ya, Den?” jawab bibiku itu yang telah bekerja di rumahku sejak aku SMP.
“Bi, apakah masih ada beras di rumah ini?” tanyaku.
“Untuk apa, den? Tapi, den.. Sepertinya beras di rumah ini sudah tinggal sedikit, bibi belum ke warung lagi.” Jawab bibiku sambil memeriksa kembali stok beras di rumah.
“Itu, Bi. Di luar ada seorang kakek tua yang meminta beras. Oh, ya sudahlah, Bi.” jelasku.
Setelah mengetahui stok beras di rumahku tinggal sedikit, aku kembali ke depan rumah dan menemui kakek tua itu.
“Maaf, Kek. Stok beras di rumah saya tinggal sedikit. Jadi, saya tidak bisa memberikannya kepada kakek.” kataku sambil meminta maaf karena tidak bisa memberikan permintaan kakek tua itu.
Tujuh meter tak jauh dari rumahku, terlihat seorang perempuan dari arah utara dengan mengenakan kemeja biru dan high heels yang mempercantik dirinya datang mendekatiku dan kakek tua itu. Perempuan itu membawa sebuah kantong plastik hitam berukuran sedang yang berisi beras, yang diberikan kepada kakek tua itu. Tanpa kusadari, perempuan yang telah memberikan beras itu adalah Rani, perempuan yang kutabrak di koridor sekolah siang tadi.
“Rani.. Rani..” panggilku dengan nada keras kepada Rani yang telah pergi meninggalkan rumahku setelah memberikan beras kepada kakek tua.
Rani menghentikan langkahnya, dan membalikkan badannya ke arahku. Akupun datang menghampirinya dan berterima kasih kepadanya yang telah menolongku tadi.
“Terima Kasih, ya Rani!” ucapku.
“Sama-sama, Anton.” balas Rani.
“Loe tahu nama gue dari mana? Rani, maaf ya atas kejadian tadi siang, gue tadi lagi buru-buru.” seruku dengan pandangan yang berbeda dari biasanya.
“Oh, tidak apa-apa kok, sudah aku maafkan.” jawab Rani dengan senyum manisnya yang terpancar dari wajahnya.
Sejak pertemuan itu, aku merasakan sesuatu yang berbeda dari hari biasanya. Entah mengapa, sejak melihat senyum manisnya itu, hatiku menjadi tenang.
Sekarang aku dan Rani sudah menjadi lebih dari seorang sahabat. Karena kejadian itu, aku mendapatkan banyak pelajaran yang berarti yaitu tanpa adanya bantuan dari orang lain hidup ini tidak akan bermakna dan sikap egois itu tidak akan membuat hidup ini menjadi baik, melainkan akan membuat hidup ini menjadi sulit.