Selamat Datang, Selamat Belajar, Semoga Bermanfaat!

Sunday, October 7, 2012

Posted by nivo's blog On 10:54 AM


Buku merupakan buku yang terdiri dari kumpulan kertas yang berisi informasi tercetak dan tersusun secara sistematis serta dilindungi oleh cover dan memiliki jumlah minimal 48 halaman.
Buku dalam kehidupan, memiliki peran yang sangat penting bagi masyarakat. Beberapa peran buku diantaranya adalah:
·         sebagai bahan bacaan
·         dalam sebuah proses belajar mengajar (PBM), buku dijadikan sebagai acuan yang dapat mendukung berlangsungnya kegiatan pembelajaran
·         buku juga dapat berperan dalam memperkaya pengetahuan individu
Di Indonesia, perkembangan industri buku dapat dibilang berkembang dengan cukup pesat. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah:

“bagaimanakah perkembangan industry buku di Indonesia dalam 2 tahun terakhir ini?”

Di tengah kemelut perkembangan teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia yang berkembang begitu pesat dan cepat, terkadang membuat perindustrian buku dapat terancam kegiatan produksinya. Ini juga memungkinkan tingkat penjualan buku yang relatif menurun disbanding dengan tahun-tahun sebelumnya. Belum lagi, seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin merakyat di tengah kehidupan masyarakat Indonesia, ada beberapa hal yang memicu menurunnya perbukuan di Indonesia dalam dua tahun terakhir ini, diantaranya adalah:
·         Isu harga buku yang relatif mahal

Harga buku yang saat ini terbilang relatif mahal. Menurut tulisan Masni dalam web UGM, beberapa tahun belakangan ini harga buku yang mahal menjadi rumor yang berkembang di kalangan mahasiswa dan masyarakat pencinta buku. Dengan mahalnya harga buku, maka mengakibatkan para konsumen buku terkadang harus merogok saku atau dompetnya lebih dalam untuk mendapatkan sebuah buku yang mereka ingin beli. Artinya bahwa buku yang berkembang saat ini di Indonesia memang terbilang cukup mahal untuk kalangan mahasiswa dan masyarakat pecinta buku.
·         Perbandingan harga buku, kualitas buku, dan tempat penjualan
Faktor kedua adalah tidak seimbangnya antara harga buku dengan kualitas buku. Misalnya saja masyarakat sering menemukan buku dengan lembaran dan kualitas terbitan yang sama tetapi dengan perbedaan harga hingga berapa kali lipat. Ditambah lagi, jika masyarakat membandingkan harga antar toko buku, maka umumnya akan ditemukan beda harga yang cukup kontras antara toko buku ternama setingkat Gramedia yang relatif lebih mahal dari toko biasa.

Pertanyaan selanjutnya yang menjadi unek-unek masyarakat “apakah yang faktor yang mempengaruhi industri buku di Indonesia??

Buku dalam perkembangannya dan dapat diminati oleh masyarakat Indonesia memerlukan proses yang cukup panjang. Hal inilah yang menjadi problematika dalam industri buku di Indonesia yang meliputi : pertama, dari segi pemasaran. Pada awal tahun 2000-an, masalah pemasaran terutama karena banyak penerbit tidak dapat menembus ke toko buku secara langsung. Hal ini sedikitnya disebabkan dua alasan, yakni minimnya sumber daya dan proses administrasi yang rumit. Kebanyakan rumah produksi hanya berskala kecil bahkan masih tergolong baru di dunia penerbitan sehingga kapasitas sumber dayanya pun terbatas. Sejalan dengan itu, ada banyak aturan baru (berupa restriksi) yang menyebabkan penerbit, tidak mudah menembus pasaran toko buku. Sementara, jaringan toko besar, semisal Gramedia pun seringkali menyarankan kepada penerbit buku, terutama yang masih baru, untuk melalui penyalur (distributor) saja, sambil mengantisipasi adanya oknum penerbit yang tidak konsisten dalam mengatur terbitannya, karena dianggap sangat mengganggu dalam manajemen toko modern semacam Gramedia. Karenanya, pada pasca produksi, langkah praktis pemasaran dengan menitipkan ke distributor menjadi mekanisme yang berlangsung hingga sekarang.
Kedua, problematika dalam industri buku yaitu tiga aktor utama dalam system pemasaran yang meliputi penerbit, distributor dan toko buku ini, telah menciptakan perputaran yang mengakibatkan adanya penambahan nilai jual, yang kemudian mulai dirasakan mahal oleh konsumen. Dalam mekanisme ini, ada konsekuensi rabat yang berlaku dan cukup dilematis utamanya terhadap penerbit buku. Jejaring ini umumnya menyepakati penggunaan sistem konsinyasi (titip jual) dengan kisaran mencapai 50 – 55%. Penjelasannya, jumlah diskon tersebut adalah hasil presentasi yang telah memperhitungkan royalti penulis, biaya dan laba penerbit, serta keuntungan untuk toko buku dan distributornya. Jadi, dapat dibayangkan jika harga buku tidak dinaikkan maka sudah pasti penerbit akan pingsan. Apalagi jika biaya bahan baku produksi (seperti kertas dan tinta) turut berfluktuasi dimana penerbitlah yang harus menanggung seluruhnya, maka masa depan usaha penerbitan akan semakin terpuruk. Berfluktuasinya harga buku demikian menjadi jelas, yang tidak lain sangat dipengaruhi oleh jejaring pemasaran yang terpola secara konvensional. Sangat sulit memutus rantai jaringan tersebut sebab pola pemasaran ini sudah berlaku secara umum diantara ketiga aktor industri perbukuan. Tidak ada satu pihak yang bisa disalahkan untuk kondisi tersebut, karena jejaring ini kompleks, sementara penerbit sendiri tidak berdaya untuk menembus toko buku secara langsung.
Ketiga, problematika yang paling menjadi pengganggu dalam industri buku di Indonesia adalah buku-buku bajakan yang beredar di pasaran. Perbedaan range harga yang lebih rendah beberapa kali lipat menjadi andalan bagi buku-buku bajakan. Ini menyebabkan banyak orang akan menggunakan hukum ekonomi dalam membeli, sehingga preferensi memperoleh produk buku jatuh kepada 'penjual buku murah'. Cara illegal pembajakan ini, sama saja dengan meremehkan kerumitan jejaring pemasaran yang sudah lama dijalankan.
Dari ketiga problematika diatas, dapat disimpulkan bahwa mengapa perindustrian buku di Indonesia mengalami perkembangan yang tidak menentu dan bahkan bisa menurun dalam penjualannya? Inilah yang menjadi jawaban atas pertanyaan tersebut, yang dimana buku akan menjadi mahal karena dalam system pemasarannya buku mengalami proses yang panjang mulai dari masuk ke penerbit, dari penerbit kemudian masuk ke distributor dan terakhir distributor menyalurkan buku tersebut ke toko penjual buku. Ditambah lagi dengan mahalnya harga dan atau biaya produksi buku tersebut yang mengakibatkan buku menjadi mahal dan bahkan masyarakat lebih memilih untuk membeli buku bajakan, padahal ini dapat meremehkan kerumitan jejaring pemasaran yang sudah lama dijalankan.
Disamping itu problematika yang muncul dan mempengaruhi perindustrian buku di Indonesia adalah menurunnya minat baca masyarakat. Hal ini dapat dilansir dalam web bisnis.com yang memuat berita bahwa “Omzet industri buku di Jabar mengalami penurunan hingga 10% per tahun karena makin rendahnya minat baca masyarakat”.  Dari berita tersebut dikatakan menurut Kepala Promosi Buku Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Jabar Sumbodo dalam Pameran Buku Bandung 2011 : “saat ini di Jabar tercatat sekitar 210 penerbit buku, dan dari jumlah tersebut rata-rata mengalami penurunan omzet hingga 10% per tahun.” Artinya bahwa dari hasil menurunnya minat baca masyarakat mengakibatkan penerbit buku mengurangi omzet penjualannya sebanyak 10 % dan ini bisa memungkinkan penerbit mengalami kerugian yang cukup besar.

“Lalu, dimanakah dan kemanakah kebijakan perbukuan di Indonesia saat ini?”

Sebenarnya Indonesia sendiri telah memiliki kebijakan yang mengatur perbukuan di Indonesia, seperti Dewan Buku Nasional yang dibentuk atas rekomendasi Kongres Perbukuan Tahun 1995 dan Ikapi tahun 1998. Adapun fungsi dewan ini adalah untuk merumuskan kebijakan dan strategi pengembangan industri buku dan distribusi buku, minat dan kegemaran baca tulis masyarakat, kemampuan sumber daya manusia, pengumpulan dan pengkajian data dan informasi perbukuan, kerja sama luar negeri, serta pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan.
Akan tetapi sangat disayangkan Di tengah kemelut perbukuan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi pada November 2011 tiba-tiba membubarkan Dewan Buku Nasional. Alasannya, lembaga nonstruktural tersebut dianggap tidak menunjukkan kinerja baik. Artinya dengan dibubarkannya Dewan Buku Nasional, maka perindustrian buku tidak hanya kehilangan induk semangat, melainkan juga masalah perpajakan terkait buku yang ditetapkan pemerintah belum juga menemukan titik terang penyelesaian.
Dan pada akhirya Pusat Perbukuan kemudian disatukan menjadi Pusat Kurikulum dan Perbukuan memang lebih banyak melaksanakan penilaian buku-buku pendidikan yang layak masuk ke sekolah ataupun perpustakaan sekolah.

Pertanyaan teakhir adalah ”Langkah apakah yang harus dilakukan oleh perindustrian buku di Indonesia?”

Ditengah problematika perbukuan di Indonesia, maka untuk dapat tetap mempertahankan dan mengembangkan kembali perbukuan maka hal yang harus dilakukan adalah: Pertama, industri buku masih perlu introspeksi. Untuk mempertahankan dan dapat mengembangkan kembali perbukuan maka perlu adanya intropeksi, baik dari penerbit yang dapat menjawab tantangan untuk menemukan solusi terhadap kurangnya minat baca masyarakat. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan cara mengadakan seminar yang membicarakan tentang perbukuan nasional yang dapat diselenggarakan di kampus-kampus, mengadakan sebuah acara yang isinya membedah beberapa buku, hingga pada memberikan penyuluhan dan pemahaman kepada masayarakat untuk membeli buku di toko buku ketimbang membeli pulsa untuk internetan karena bagaimanapun juga buku yang ada di took buku memiliki bahasan yang lengkap dalam satu bukunya.
Kedua, mampu menyaingi era digital. Artinya tahun ini telah berkembangnya era atau zaman digital. Ditengah perkembangan digital yang begitu pesat, maka memungkinkan timbulnya zaman atau era buku digital yang dikenal dengan istilah e-book. Oleh karena itu, hendaknya perbukuan di Indonesia harus mampu bersaing dengan era digital tanpa harus mematikan era digital.
Kesimpulannya bahwa perindustrian buku di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat dan cepat bahkan dengan perkembangan tersebut juga dapat memungkinkan perbukuan di Indonesia menurun karena munculnya era digital. Akan tetapi, perindustrian buku di Indonesia masih dapat hidup tanpa harus mematikan buku dalam era digital.

Referensi:


1 comment: