Buku merupakan buku yang terdiri dari kumpulan
kertas yang berisi informasi tercetak dan tersusun secara sistematis serta
dilindungi oleh cover dan memiliki jumlah minimal 48 halaman.
Buku dalam kehidupan, memiliki peran yang sangat
penting bagi masyarakat. Beberapa peran buku diantaranya adalah:
·
sebagai bahan
bacaan
·
dalam sebuah
proses belajar mengajar (PBM), buku dijadikan sebagai acuan yang dapat
mendukung berlangsungnya kegiatan pembelajaran
·
buku juga dapat
berperan dalam memperkaya pengetahuan individu
Di Indonesia, perkembangan industri buku dapat
dibilang berkembang dengan cukup pesat. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah:
“bagaimanakah
perkembangan industry buku di Indonesia dalam 2 tahun terakhir ini?”
Di tengah kemelut perkembangan teknologi informasi
dan komunikasi di Indonesia yang berkembang begitu pesat dan cepat, terkadang
membuat perindustrian buku dapat terancam kegiatan produksinya. Ini juga
memungkinkan tingkat penjualan buku yang relatif menurun disbanding dengan
tahun-tahun sebelumnya. Belum lagi, seiring dengan perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi yang semakin merakyat di tengah kehidupan masyarakat
Indonesia, ada beberapa hal yang memicu menurunnya perbukuan di Indonesia dalam
dua tahun terakhir ini, diantaranya adalah:
·
Isu harga buku
yang relatif mahal
Harga buku yang
saat ini terbilang relatif mahal. Menurut tulisan Masni dalam web UGM, beberapa
tahun belakangan ini harga buku yang mahal menjadi rumor yang berkembang di
kalangan mahasiswa dan masyarakat pencinta buku. Dengan mahalnya harga buku,
maka mengakibatkan para konsumen buku terkadang harus merogok saku atau
dompetnya lebih dalam untuk mendapatkan sebuah buku yang mereka ingin beli.
Artinya bahwa buku yang berkembang saat ini di Indonesia memang terbilang cukup
mahal untuk kalangan mahasiswa dan masyarakat pecinta buku.
·
Perbandingan harga
buku, kualitas buku, dan tempat penjualan
Faktor kedua
adalah tidak seimbangnya antara harga buku dengan kualitas buku. Misalnya saja
masyarakat sering menemukan buku dengan lembaran dan kualitas terbitan yang
sama tetapi dengan perbedaan harga hingga berapa kali lipat. Ditambah lagi,
jika masyarakat membandingkan harga antar toko buku, maka umumnya akan
ditemukan beda harga yang cukup kontras antara toko buku ternama setingkat
Gramedia yang relatif lebih mahal dari toko biasa.
Pertanyaan selanjutnya yang menjadi unek-unek
masyarakat “apakah yang faktor yang
mempengaruhi industri buku di Indonesia??
Buku dalam perkembangannya dan dapat diminati oleh
masyarakat Indonesia memerlukan proses yang cukup panjang. Hal inilah yang
menjadi problematika dalam industri buku di Indonesia yang meliputi : pertama,
dari segi pemasaran. Pada awal tahun 2000-an, masalah pemasaran terutama karena
banyak penerbit tidak dapat menembus ke toko buku secara langsung. Hal ini
sedikitnya disebabkan dua alasan, yakni minimnya sumber daya dan proses
administrasi yang rumit. Kebanyakan rumah produksi hanya berskala kecil bahkan
masih tergolong baru di dunia penerbitan sehingga kapasitas sumber dayanya pun
terbatas. Sejalan dengan itu, ada banyak aturan baru (berupa restriksi) yang
menyebabkan penerbit, tidak mudah menembus pasaran toko buku. Sementara,
jaringan toko besar, semisal Gramedia pun seringkali menyarankan kepada
penerbit buku, terutama yang masih baru, untuk melalui penyalur (distributor)
saja, sambil mengantisipasi adanya oknum penerbit yang tidak konsisten dalam
mengatur terbitannya, karena dianggap sangat mengganggu dalam manajemen toko
modern semacam Gramedia. Karenanya, pada pasca produksi, langkah praktis
pemasaran dengan menitipkan ke distributor menjadi mekanisme yang berlangsung
hingga sekarang.
Kedua,
problematika dalam industri buku yaitu tiga aktor utama dalam system pemasaran
yang meliputi penerbit, distributor dan toko buku ini, telah menciptakan
perputaran yang mengakibatkan adanya penambahan nilai jual, yang kemudian mulai
dirasakan mahal oleh konsumen. Dalam mekanisme ini, ada konsekuensi rabat yang
berlaku dan cukup dilematis utamanya terhadap penerbit buku. Jejaring ini
umumnya menyepakati penggunaan sistem konsinyasi (titip jual) dengan kisaran
mencapai 50 – 55%. Penjelasannya, jumlah diskon tersebut adalah hasil
presentasi yang telah memperhitungkan royalti penulis, biaya dan laba penerbit,
serta keuntungan untuk toko buku dan distributornya. Jadi, dapat dibayangkan
jika harga buku tidak dinaikkan maka sudah pasti penerbit akan pingsan. Apalagi
jika biaya bahan baku produksi (seperti kertas dan tinta) turut berfluktuasi
dimana penerbitlah yang harus menanggung seluruhnya, maka masa depan usaha
penerbitan akan semakin terpuruk. Berfluktuasinya harga buku demikian menjadi
jelas, yang tidak lain sangat dipengaruhi oleh jejaring pemasaran yang terpola
secara konvensional. Sangat sulit memutus rantai jaringan tersebut sebab pola
pemasaran ini sudah berlaku secara umum diantara ketiga aktor industri
perbukuan. Tidak ada satu pihak yang bisa disalahkan untuk kondisi tersebut,
karena jejaring ini kompleks, sementara penerbit sendiri tidak berdaya untuk
menembus toko buku secara langsung.
Ketiga,
problematika yang paling menjadi pengganggu dalam industri buku di Indonesia
adalah buku-buku bajakan yang beredar di pasaran. Perbedaan range harga yang
lebih rendah beberapa kali lipat menjadi andalan bagi buku-buku bajakan. Ini menyebabkan
banyak orang akan menggunakan hukum ekonomi dalam membeli, sehingga preferensi
memperoleh produk buku jatuh kepada 'penjual buku murah'. Cara illegal
pembajakan ini, sama saja dengan meremehkan kerumitan jejaring pemasaran yang
sudah lama dijalankan.
Dari ketiga problematika diatas, dapat disimpulkan bahwa
mengapa perindustrian buku di Indonesia mengalami perkembangan yang tidak
menentu dan bahkan bisa menurun dalam penjualannya? Inilah yang menjadi jawaban
atas pertanyaan tersebut, yang dimana buku akan menjadi mahal karena dalam system
pemasarannya buku mengalami proses yang panjang mulai dari masuk ke penerbit,
dari penerbit kemudian masuk ke distributor dan terakhir distributor menyalurkan
buku tersebut ke toko penjual buku. Ditambah lagi dengan mahalnya harga dan atau
biaya produksi buku tersebut yang mengakibatkan buku menjadi mahal dan bahkan
masyarakat lebih memilih untuk membeli buku bajakan, padahal ini dapat meremehkan
kerumitan jejaring pemasaran yang sudah lama dijalankan.
Disamping itu problematika yang muncul dan
mempengaruhi perindustrian buku di Indonesia adalah menurunnya minat baca
masyarakat. Hal ini dapat dilansir dalam web bisnis.com yang memuat berita
bahwa “Omzet industri buku di Jabar
mengalami penurunan hingga 10% per tahun karena makin rendahnya minat baca
masyarakat”. Dari berita tersebut
dikatakan menurut Kepala Promosi Buku Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Jabar
Sumbodo dalam Pameran Buku Bandung 2011 : “saat ini di Jabar tercatat sekitar
210 penerbit buku, dan dari jumlah tersebut rata-rata mengalami penurunan omzet
hingga 10% per tahun.” Artinya bahwa dari hasil menurunnya minat baca
masyarakat mengakibatkan penerbit buku mengurangi omzet penjualannya sebanyak
10 % dan ini bisa memungkinkan penerbit mengalami kerugian yang cukup besar.
“Lalu, dimanakah
dan kemanakah kebijakan perbukuan di Indonesia saat ini?”
Sebenarnya Indonesia sendiri telah memiliki
kebijakan yang mengatur perbukuan di Indonesia, seperti Dewan Buku Nasional yang
dibentuk atas rekomendasi Kongres Perbukuan Tahun 1995 dan Ikapi tahun 1998.
Adapun fungsi dewan ini adalah untuk merumuskan kebijakan dan strategi pengembangan
industri buku dan distribusi buku, minat dan kegemaran baca tulis masyarakat,
kemampuan sumber daya manusia, pengumpulan dan pengkajian data dan informasi
perbukuan, kerja sama luar negeri, serta pemantauan dan evaluasi pelaksanaan
kebijakan.
Akan tetapi sangat disayangkan Di tengah kemelut
perbukuan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
pada November 2011 tiba-tiba membubarkan Dewan Buku Nasional. Alasannya,
lembaga nonstruktural tersebut dianggap tidak menunjukkan kinerja baik. Artinya
dengan dibubarkannya Dewan Buku Nasional, maka perindustrian buku tidak hanya
kehilangan induk semangat, melainkan juga masalah perpajakan terkait buku yang
ditetapkan pemerintah belum juga menemukan titik terang penyelesaian.
Dan pada akhirya Pusat Perbukuan kemudian disatukan
menjadi Pusat Kurikulum dan Perbukuan memang lebih banyak melaksanakan
penilaian buku-buku pendidikan yang layak masuk ke sekolah ataupun perpustakaan
sekolah.
Pertanyaan teakhir adalah ”Langkah apakah yang harus dilakukan oleh perindustrian buku di
Indonesia?”
Ditengah problematika perbukuan di Indonesia, maka
untuk dapat tetap mempertahankan dan mengembangkan kembali perbukuan maka hal
yang harus dilakukan adalah: Pertama, industri buku masih perlu introspeksi.
Untuk mempertahankan dan dapat mengembangkan kembali perbukuan maka perlu
adanya intropeksi, baik dari penerbit yang dapat menjawab tantangan untuk
menemukan solusi terhadap kurangnya minat baca masyarakat. Hal ini dapat
dilakukan misalnya dengan cara mengadakan seminar yang membicarakan tentang
perbukuan nasional yang dapat diselenggarakan di kampus-kampus, mengadakan
sebuah acara yang isinya membedah beberapa buku, hingga pada memberikan
penyuluhan dan pemahaman kepada masayarakat untuk membeli buku di toko buku
ketimbang membeli pulsa untuk internetan karena bagaimanapun juga buku yang ada
di took buku memiliki bahasan yang lengkap dalam satu bukunya.
Kedua, mampu
menyaingi era digital. Artinya tahun ini telah berkembangnya era atau zaman
digital. Ditengah perkembangan digital yang begitu pesat, maka memungkinkan
timbulnya zaman atau era buku digital yang dikenal dengan istilah e-book. Oleh karena itu, hendaknya
perbukuan di Indonesia harus mampu bersaing dengan era digital tanpa harus
mematikan era digital.
Kesimpulannya bahwa perindustrian buku di Indonesia
mengalami perkembangan yang cukup pesat dan cepat bahkan dengan perkembangan
tersebut juga dapat memungkinkan perbukuan di Indonesia menurun karena munculnya
era digital. Akan tetapi, perindustrian buku di Indonesia masih dapat hidup
tanpa harus mematikan buku dalam era digital.
Referensi:
kondisinya kembang kempis
ReplyDelete